
Chapter Two
Sehari setelah aku dapatkan nomornya aku terdiam tidak hanya seribu bahasa tetapi bahkan terdiam sejuta bahasa dengan terus memutar otak bagaimana berkata untuk mengawali pembicaraan dengan indri walau hanya lewat sms. Dengan nada dan bahasa canggung, sederhana, mungkin bahkan tidak bermakna akupun mulai mengetik pesan singkat lewat layar hitam terbalut casing biru. Entah perkembangan, perubahan, atau bahkan inovasi perasaan, namun semuanya seakan terbaca lewat pesan singkat yang kami lakukan dan kami sebut sebagai rutinitas meskipun sesekali aku terkadang menelpon untuk mendengarkan suara lirih nan lembut layaknya veronica yang sedang berbicara kepada customernya. semuanya aku alami dan aku lakukan selama hampir sebulan.
Malam itu selepas sholat maghrib dengan berdiri di cermin aku berusaha melepaskan semua senjata yang aku punya untuk menghadapi indri, karena bagiku malam ini adalah perang, perang melawan dan memperjuangkan perasaan. Tibalah saatnya aku menjemput indri di kostnya di dekat warung padang yang terkenal di kalangan anak-anak kampus. Seribu bahasa seakan tak berguna setelah aku melihat penampilan indri, hanya satu kata yang bisa mewakili perasaanku yaitu “perfect”. Tanpa basa-basi aku langsung menyalakan kendaraan roda duaku yang merupakan peninggalan kakakku ridwan setelah dia lulus SMA. Semuanya terasa memihakku, dua buah jagung bakar rasa manis pedas serta es teh cukup menemaniku bersama indri. Semua lepas dan terbuka baik perasaan maupun pembicaraan kami hingga aku tak sadar hatiku telah ditelanjangi lewat pertanyaan-pertanyaan indri, sementara aku terlena hingga tak mampu sedikitpun untuk membedah perasaan indri. Semuanya berlalu hanya dengan Rp 10.000,-
Semua kembali dalam percakapan layar hitam berbalut casing biru layaknya orang yang sedang menjalani LDRan (Long Distance Relathionship => hubungan jarak jauh). Dengan penuh ragu, malu, kaku, dan nahkan mungkin wagu aku coba mengajaknya keluar dengan membawa sebuah rencana, meskipun tanpa rencana B tetapi aku sudah menyerahkan semua perasaanku malam ini. Kali ini aku hanya mengajaknya ke alun-alun yang ramai dengan kerumunan orang serta sepeda lampu yang bervariasi bentuknya. Aku mencoba mengajaknya di tengah pohon beringin tua penuh makna. Tanpa membuang waktu aku hanya berbicara
Aku :“ndri, aku mau kamu menutup mata”
Indri :”emang buat apaan”
Aku :”udaaaahh cepet, nggak bakal di apa-apain kok,hehehee”
Dengan berhati-hati dan penuh waspada barangkali ada orang yang melihat akupun mencoba menempelkan bibirku dengan bibirnya indri layaknya film hollywod dengan gaya amatir. Tak bertahan lama indripun membuka mata dan berkata
Indri :”loch kok kamu gitu??”
Aku :”maaf ndri, itulah ciuman pertamaku. Aku berjanji pada diriku sendiri akan memberikan ciuman pertamaku untuk orang yang benar-benar aku cinta dan aku memilih untuk memberikan ciuman pertamaku sama kamu ndri”
Indri :dengan nada setengah bingung dan malu “tapi kan...”
Aku :”aku tau ndri..begini saja, kalau kamu juga mencintaiku kamu peluk aku dan katakan aku juga mencintai kamu, tapi jika kamu tidak mencintaiku maka kecup bibirku dan katakan aku kembalikan ciuman kamu, bagaimana??”
Indri :”kalo aku nyium kamu kita masih tetep temenan kan??”
Aku :”ya begitulah,meskipun nantinya mungkin kita akan sedikit berbeda setelah kejadian ini”
Indri :entah ragu-ragau atau pura-pura malu, bahkan terlihat tanpa membuang waktu indripun memelukku dan berkata “maaf do aku nggak mau dan nggak bisa,tolong antar aku pulang sekarang do”
Dengan tertunduk malu dan lesu akupun mencoba mengartikan semua ini, kalau dia menolak cintaku harusnya dia mencium bibirku tetapi malah memelukku, tapi kalau dia menerima cintaku harusnya dia bilang iya kok malah bilang nggak mau dan nggak bisa??. Semua pertanyaan dan pernyataan mewarnai pikiran, perasaan, dan hatiku layaknya baliho yang mewarnai setiap sudut jalan yang kulewati. Meskipun tak sepatah kata yang keluar sepanjang perjalanan pulang menuju kostnya indri. Sesampainya di kost indri aku hanya bicara beberapa kata “terimakasih atas semuanya ndri dan maaf soal tadi” dengan menunduk entah malu atau menyembunyikan sesuatu indri hanya berkata “iya sama-sama do,tidak ada yang salah dan perlu dipermasalahkan karena pada dasarnya perasaan memang tak bersalah. Ya udah met malem za do dan hati-hat di jaan”. Tanpa menunggu aku pergi indripun sudah mendahuluikku memasuki gerbang kostnya. Dengan kekecewaan dan penyesalan atas apa yang terjadi di alun-alun, aku mencoba membuka pembicaraan lewat dunia maya walaupun hanya lewat sms. ”met mlem ndri, btw aku mencoba mengartikan semua ini tapi masih belum menemukan jawabannya, kalau kamu menolak cintaku harusnya kamu mencium bibirku tetapi kok malah memelukku, kalaupun kamu menerima cintaku harusnya kamu bilang iya kok malah bilang nggak mau dan nggak bisa??. Aku benar-benar masih belum paham dengan semua ini”. Kupandangi dan kuputar-putar HPku menunggu jawaban dari pertanyaan yang mengatasnamakan perasaan hingga aku terlelap tidur. Aku terbangun sesaat dan kupandangi HP dan kulihat sebuah pesan dari indri “maaf bgt do baru bls,aku sendri masih belum mengerti dengan perasaanku, perasaan kamu, dan perasaan kita berdua. Aku masih belum tersadar apa yang terjadi semalam, dan aku masih tidak peraya engan kejadian semalam. Aku Cuma bisa bilang AKU NGGAK MAU MENOLAK CINTAMU DAN AKU NGGAK BISA HIDUP TANPAMU, itu yang sebenarnya aku mau katakan semala, tetapi aku masih ragu dan takut kalau-kalau aku salah mengartikan semua ini.”
Melihat dan membaca pesan dari indri mataku langsung bersinar hampir 1000 watt seakan aku mendapat pesan dari surga. Kucoba telepon indri tetapi Hpnya dimatikan, mungkin indri memberikan kesempatan buatku untuk berpikir dan memikirkan apa yang terjadi semalam dan bagaimana kedepannya. Dengan perasaan yang masih menyala dan penasaran yang masih mendera aku coba memejamkan mata meskipun agak sulit tetapi aku tetap berusaha tidur agar besok bisa terbangun dengan harapan-harapan yang pasti tidak sekedar mimpi sebagai buah imajinasi.